Tiap Perkawinan Harus Dicatat Menurut Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku

Karimun (Humas) – Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karimun melalui Penyelenggara Buddha, Selasa (8/12/2015) menyelenggarakan kegiatan Pembekalan Pra Nikah kepada Pemuda Buddhis di Kabupaten Karimun.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karimun Drs. H. Afrizal yang menyampaikan materi  menyampaikan bahwa di Indonesia berdasarkan hukum yang berlaku setiap perkawinan harus tercatat menurut peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

“Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentangPerkawinan. perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.” Jelasnya.

Ia mejelaskan juga bahwa dalam UU nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 6 dan 7 juga  mengatur syarat-syarat melangsungkan perkawinan. Pengaturan syarat-syarat ini diantaranya bertujuan untuk melindungi kepentingan perempuan dari perkawinan paksa dan perkawinan di bawah umur
Adapun syarat-syarat tersebut adalah :
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin.
  3. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ketentuan usia tersebut dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
Selanjutnya ia menyampaikan bahwa dalam UU nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga ada larangan perkawianan antara dua orang yang:
  1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
  2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
  4. berhubungan sepersusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi/paman sesusuan;
  5. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. 
Misalkan masih terikat perkawinan atau perkawinan antar saudara sepupu yang dilarang dalam hukum adat tertentu.

Ditanya oleh salah satu perserta tentang apakah jika perkawinan tidak dicatatkan, suatu perkawinan tidak sah?. Ka. Kankemenag Karimun menjelaskan bahwa proses pencatatan perkawinan sendiri, sebenarnya ini tidak menjadikan perkawinan itu tidak sah karena proses pencatatan itu sendiri adalah proses administratif. Dalam konteks agama/adat perkawinan yang tidak dicatatkan tetap dianggap sah.

“Namun dalam hukum nasional, proses pencatatan ini telah menjadi bagian dari hukum positif, ka-rena hanya dengan proses ini maka masing-masing pihak diakui segala hak dan kewajibannya di depan hukum. Dan pencatatan perkawinan akan membawa akibat terhadap anak-anak yang dilahirkan dan pemenuhan hak-hak dasarnya.” Jawabnya.

H. Afrizal menegaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). 

“Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan bagi yang beragama selain Islam (Katholik, Kristen, Budha, Hindu, Konghucu, Penghayat dan lain-lain) pencatatan itu dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS).

Ditanya oleh peserta lainnya tentang persyaratan apa yang harus dipenuhi dalam pencatatan perkawinan ? H. Afrizal menjelaskan bahwa untuk mendapatkan pelayanan pencatatan perkawinan, harus melengkapi persyaratan berikut ini:

1.    Surat Bukti Perkawinan Menurut Agama
2.    Akta Kelahiran
3.    Surat Keterangan dari Lurah
4.    Fotocopy KK/KTP yang dilegalisir oleh LURAH
5.    Pas Foto berdampingan ukuran 4 x 6 cm sebanyak 5 (lima) lembar
6.    2 (dua) orang SAKSI yang telah berusia 21 tahun ke atas
7.    Akta Kelahiran Anak yang akan diakui/disahkan
8.    Akta Perceraian / Akta Kematian jika yang bersangkutan telah pernah kawin
9.    Izin dari Komandan bagi Anggota TNI / Kepolisian
10.    Passport bagi WNA
11.    Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari Kepolisian bagi WNA
12.    Surat dari Kedutaan / Konsul / Perwakilan Negara Asing yang bersangkutan   (bagi WNA)
13.    SKK dari Imigrasi (bagi WNA)

“Catatkan perkawinan Anda ke instansi yang berwenang sebelum melewati waktu satu bulan sejak perkawinan menurut Agama dilangsungkan.” Tambahnya.

Comments