Penyelenggara Buddha Karimun: Sejarah Perkembangan Agama Buddha Di Indonesia

Karimun (Humas) – Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karimun melalui Penyelenggara Buddha, Senin (7/12/2015) menyelenggarakan kegiatan pembinaan siswa Sekolah Minggu Buddha. Kegiatan pembinaan siswa Sekolah Minggu Buddha se-Kabupaten Karimun tahun 2015 ini berlangsung di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karimun dan diikuti sebanyak 35 peserta.

Penyelenggara Buddha Kantor Kementerian Agama Kabupaten Karimun Sudir, S.Pd dalam penyampaian materi keduanya menyampaikan Sekilas Sejarah Perkembangan Agama Buddha Di Indonesia

“Agama Buddha  bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah Agama baru. Ratusan tahun silam pernah menjadi pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia tepatnya pada   kerajaan Sriwijaya,kerajaan Mataram kuno dan kerajaan Majapahit.” Jelas Sudir memulai.

Zaman Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia

“Setelah agama Hindu, Agama Buddha adalah agama tertua di Indonesia. Agama Buddha masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4 Masehi dan setelah itu perkembangannya sangat pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan dengan latar belakang  Hindu Buddha.Berdasarkan penelitian para arkeolog diketemukan bahwa kerajaan tertua adalah kerajaan Kutai di Kalimantan, yang kemungkinan besar berlatar belakang Hindu, lalu setelah itu,muncul kerajaan Tarumanegara yang berlatar belakang Hindu-Buddha.Kemudian diikuti kerajaan-kerajaan lain dan mencapai puncak keemasan pada saat kerajaan Sriwijaya berkuasa,diikuti keberhasilan patih Gajah mada mempersatukan Nusantara kerajaanya Majapahit. Di antara kerajaan-kerajaan di atas, pada abad ke 8 Masehi, di bawah kepemimpinan wangsa Syailendra, salah satu dinasti kerajaan Buddhis meninggalkan warisan luar biasa kepada Umat Buddha yaitu Candi Borobudur.” Kisah Sudir

Zaman Kerajaan Sriwijaya

“Di Sumatera  terdapat sebuah kerajaan yang dalam abad kelima, berpusat di Palembang,kemudian meluaskan jajahannya hingga Bangka dan semenanjung malaka. Kerajaan ini mempunyai hubungan politik dan kebudayan dengan kerajaan mataram yang diperintah oleh dinasti Syailendra.” Lanjut Sudir

Sriwijaya, lanjut Sudir bukan saja termasyur karena kekuatan angkatan perangnya, tetapi juga ia merupakan Pusat Ilmu dan Kebudayaan Buddha. Di sana terdapat banyak Vihara dan dihuni oleh ribuan Bhikkhu. Di Perguruan tinggi Agama Buddha Sriwijaya , selain kuliah tentang agama Buddha, orang-orang juga dapat mempelajari kuliah tentang bahasa sansekerta dan bahasa jawa kuno(kawi). Pujangga-pujangga terkenal pada waktu itu seperti Dharmapala dan Sakyakirti pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Pada waktu itu Sriwijaya merupakan mercusuar agama Buddha di Asia Tenggara dan memancarkan cahaya budaya yang cemerlang.

“Agama Buddha di Sriwijaya juga banyak diberitakan oleh seorang sarjana agama Buddha dari tiongkok yang bernama Itsing. Di tahun 672 ia berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India, dan ketika pulang di tahun 685 ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana selama 10 tahun lamanya untuk mempelajari dan menyalin buku-buku suci agama Buddha dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Cina.” Terang Sudir lagi.

Zaman Kerajaan Syailendra Di Mataram

“Pada + tahun 775-850 di daerah Bagelan Yogyakarta, berkuasalah raja-raja dari wangsa Syailendra yang memeluk Agama Buddha. Zaman ini juga merupakan zaman keemasan bagi Mataram dan Negara di bawah pemerintahannya aman dan makmur. Ilmu pengetahuan terutama pengetahuan tentang agama Buddha sangat maju, dan kesenian terutama seni pahatnya mencapai taraf yang sangat tinggi misalnya Candi Borobudur, Candi Pawon, Candi Mendut, Kalasan dan sewu.” Kisah Sudir lagi melanjutkan.

Setelah Raja Samaratungga meninggal dunia, lanjut Sudir lagi Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu, tetapi agama Buddha dan Agama Hindu terus hidup berdampingan dengan rukun dan damai.

Zaman Kerajaan Majapahit

“Di bawah kepemimpinan raja-raja Majapahit (tahun 1292-1478) yang beragama Hindu, Agama Buddha pun dapat berkembang baik.Toleransi di bidang keagamaan dijaga sebaik-baiknya, sehingga tidak pernah terjadi pertentangan antar agama. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal Mpu Tantular telah menulis sebuah buku berjudul “ Sutasoma” dimana terdapat kalimat “Syiwa Buddha Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangroa”  Yang artinya “Syiwa dan Buddha berlainan, akan tetapi sesungguhnya adalah satu, sebab tidak ada Dharma(kebenaran) itu kembar”. Setelah Majapahit runtuh pada tahun 1478, maka berangsur-angsur agama Buddha dan Hindu digeser kedudukannya oleh agama Islam.” Ungkap Sudir.

Perkembangan Agama Buddha Sejak Abad 20

“Dalam zaman penjajahan Belanda di Indonesia hanya dikenal adanya tiga agama, yakni Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Sedangkan Agama Buddha tidak disebut-sebut. Hal ini adalah salah satu sikap pemeritah Kolonial Belanda waktu itu, sehingga agama Buddha dapat dikatakan sirna dari bumi Indonesia, tetapi secara tersirat di dalam hati nurani bangsa Indonesia, agama Buddha masih tetap terasa antara ada dan tiada.” Terangnya.

Pada zaman pemerintah kolonial Belanda, masih menurut Sudir didirikan perhimpunan Theosofi  oleh orang-orang Belanda terpelajar, yang bertujuan untuk mempelajari inti kebijaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang unifersal. Theosofi juga mengajarakan  kebijaksanaan dari agama Buddha, tanpa memandang perbedaan agama. Dari disinilah lahir penganut agama Buddha di Indonesia, yang setelah kemerdekaan mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.

“Dalam jaman penjajahan Belanda, di Jakarta timbul pula usaha untuk melestarikan ajaran agama Buddha, Konghucu dan Lauutze yang kemudian melahirkan Organisasi Samkauw  Hwee yang bertujuan  untuk mempelari ketiga ajaran tersebut, yang kemudian melahirkan penganut agama Buddha di zaman kemerdekaan bangkit dan berkembang. Banyak Bhiksu dari Cina yang datang dan tinggal di kelenteng-kelenteng, tetapi mereka tidak membentuk Sangha dan kegiatan mereka bukan sebagian Dharmaduta yang aktif membabarkan Dhamma, melainkan hanya menitik- beratkan pada upacara ritual.” Terangnya.

Dan pada tanggal 4 Maret 1934, kisah sudir lagi, Bhikkhu Narada menginjakkan kakinya di pelabuhan Tanjung Periuk, disambut oleh Yosias Van Diesnt dan Tjoa Hin Hoey serta beberapa umat Buddha. Bhikkhu Narada adalah Bhikkhu yang pertama datang dari luar negeri setelah berselang lima ratus tahun. Dalam kunjungan tersebut. Beliau beberapa kegiatan, di antaranya adalah :
  1. Memberikan kotbah Dhamma di beberapa tempat di Jakarta, jawa barat dan jawa Tengah.
  2. Memberkahi penanaman pohon bodhi di pekarangan candi Borobudur tgl 10 maret 1993 yang cangkokannya dibawa oleh Ir. Meertenas dari Buddhagaya- India.(pohon Bodhi yang tumbuh besar di Candi Borobudur, pada tahun 1980 dimatikan karena merusak banginan candi , Duta besar Srilangka kemudian menyerahkan lagi cangkokan pohon Bodhi yang berasal dari India, dan ditanam di kawasan luar Candi Borobudur disaksikan oleh Gubernur Supardjo Rustam.
  3. Membantu dalam pendirian Java Buddhist Association di Jakarta.
  4. Melantik Upasaka-Upasika di tempat tempat yang dikunjungi

“Ketika datang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1934, bhikkhu Narada baru berusia 35 tahun dan telah menjadi seorang Thera( telah menjadi seorang Bhikhu sekurang-kurangnya 10 tahun lamanya). Walaupun Bhikkhu Narada bukanlah Bikkhu  yang paling tinggi , tetapi diakui bahwa beliau merupakan bhikkhu yang paling terkenal dan dipuja seluruh Srilangka. Setiap khotbahnya selalu dihadiri oleh banyak orang, dan ia bias berkhotbah dalam satu hari sampai sepuluh kali tanpa merasa lelah.” Jelasnya.

Bhikku Narada, kisah Sudir lagi mengunjungi Indonesia sebanyak lima belas kali kunjungan dalam kurun waktu 49 tahun, satu hal yang tentunya memberikan kesan yang sangat mendalam. Pada kesempatan kunjungan terakhirnya di Indonesia pada bulan Mei 1983, umat Buddha di Indonesia berkesempatan merayakan ulang tahun ke 85 bhikku narada mahatera. Dalam kunjungannya itu, beliau mengatakan bahwa itu merupakan kunjungannya yang terahir di Indonesia, dan akan mengirimkan Metta- Nya kepada umat Buddha di Indonesia dari jauh, sampai saat terakhir hidup beliau. Beliaulah soko guru kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia pada abad XX.

Perkembangan Agama  Buddha Setelah Kemerdekaan

“Perhimpunan Theosofi yang bertujuan untuk membina inti persaudaraan universal melalui penghayatan pengetahuan tentang semua agama termasuk agama Buddha. Telah menarik perhatian dan minat orang-orang Indonesia terpelajar. Dari mempelajari agama Buddha timbulah dorongan untuk menghayati dan mengamalkan ajaran agama Buddha. Dari  sini bermulalah orang-orang Indonesia terpelajar mengenal agama Buddha sampai akhirnya menjadi umat Buddha.” Jelasnya.

“Pada tahun 1953, The Boan An di Bogor ditakbiskan menjadi bhikkhu Theravada dari Birma oleh Ven. Mahasyi Sayadaw dan diberi nama Ashin Jinarakkhita, dan mulailah dirintis permunculan Sangha dengan adanya tokoh-tokoh perintis kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia pada waktu itu, yakni: Pandita Josias Van Diest dan Kwee Tek Hoay.” Tambahnya.

Pada tahun 1954, seorang umat Buddha di Semarang( yang kemudian menjadi bhikkhu Dhammika) menyerahkan sebidang tanah perkebunan beserta sebuah rumah didalamnya untuk dijadikan Vihara dengan nama Vihara Buddha Gaya, terletak di Watugong Semarang, di mana Ven. Narada Mahatera juga telah menanam pohon Bodhi yang kemudian tumbuh dengan subur.

“Sekitar tahun 1955-1956 berdirilah Pesaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), yang di kemudian hari berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonsia( MUABI) dan kemudian menjadi Majelis Upasaka Pandita Buddhayana Indonesia.” Terang Sudir lagi.

Pada tanggal 3 Mei 1958 di Semarang dibentuk Perhimpunan Budhis Indonesia(PERBUDI), tetapi sejak tahun 1970 berubah menjadi PERBUDHI sebagai gabungan dari PERBUDI,PUUI,GPIB(Gerakan Pemuda Buddhis Indonesia), dan Wanita Buddha Indonesia.Pada tahun ini pula berdiri Sangha  Suci Indonesia, yang kemudian menjadi Maha Sangha Indonesia.

Di tahun 1959 untuk pertama kalinya umat Buddha mengadakan upacara perayaan Waisak di Candi Borobudur secara besar-besaran setelah 500 tahun agama Buddha tertidur uyang merupakan awal tonggak agama Buddha berdiri kembali. Dengan semangat yang luar biasa kemudian membawa agama Buddha disahkan secara hokum dan dinyatakan bahwa agama Buddha merupakan salah satu agama yang diakui di Indonesia. Disusul kemudian berdiri banyak organisasi-organisasi Budhis lannya di Indonesia.

“Di luar negeri, agama Buddha berkembang dengan pesat terutama di kawasan Asia Tenggara, yakni Thailand, yang sejak agama Buddha masuk hingga sekarang, masih tetap merupakan Negara mayoritas Buddhis.” Terang Sudir lagi.

Saat ini, masih menurut Penyelenggara Buddha ini di Indinesia terdapat tiga Sangha, yaitu :
  1. Sangha Agung Indonesia, yang dibentuk tahun pada tahun 1974, sebagai penggabungan Maha Sangha Indonesia ( 1963) dan Sangha Indonesia (1972). Selanjutnya Maha Sangha Indonesia adalah kelanjutan dari Sangha Suci Indoneia.
  2. Sangha Mahayana Indonesia, yang dibentuk pada tahu 1978, bersamaan dengan terbentuknya Majelis Agama Buddha Indonesia
  3. Sangha Theravada Indonesia, yang dibentuk pada oktober 1976 di Semarang, Jawa tengah. Sangha Theravada dibentuk oleh para bhikkhu yang bukan anggota Sanha Agung Indonesia
“Ketiga Sangha ini pada tahun 1979, bersama-sama dengan tujuh Majelis agama Buddha membentuk Perwakilan Umat Buddha Indonesia(WALUBI), sebagai wadah tunggal agama Buddha, yang berbentuk Federasi dan bersifat konsultatif dan koordinatif. Tetapi sejak tahun 1993, Sangha Agung Indonesia tidak lagi menjadi anggota Walubi, dan tahun selanjutnya Sangha Theravada Indonesia juga keluar dari Walubi beserta majelisnya masing-masing.” Tutupnya.

Comments